Kebudayaan yang muncul dalam suatu masyarakat merupakan suatu
bentuk cipta, rasa dan karsa dari setiap individu masyarakat yang ada dalam
daerah tertentu. Oleh karena itu, sudah barang tentu dalam kehidupan bermasyarakat
kita pasti akan menemukan berbagai kebudayaan serta perilaku kebudayaan yang
berbeda antara yang satu dengan yang lain. Namun, tidak sedikit pula orang yang
memiliki pandangan serta pemaknaan yang sama tentang kebudayaan-kebudayaan
tersebut.
Pada dasarnya setiap kebudayaan yang muncul dalam suatu
masyarakat pasti akan terus bertahan dan berkembang, hal ini disebabkan karena
masyarakat masih menganggap bahwa kebudayaan tersebut masih mempunyai
nilai-nilai yang baik dan sakral. Sehingga untuk meubah atau mengganti suatu
kebudayaan yang sudah melekat dalam jiwa suatu masyarakat, bukanlah hal yang
mudah untuk dilakukan.
Di daerah pesisir Madura, terdapat komunitas masyarakat yang
selalu melakukan ritual atau tradisi sebagai suatu keharusan yang wajib untuk
dilakukan. Ritual atau tradisi tersebut, biasanya dimulai dengan acara
pembacaan istighotsah dan tahlil bersama oleh masyarakat yang dipimpin oleh
pemuka agama setempat. Setelah itu, masyarakat melepaskan sesaji ke laut
sebagai rasa ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun isi dari sesaji
itu adalah ketan-ketan yang berwarna-warni, tumpeng, ikan-ikan, dan lain
sebagainya. Ritual atau tradisi tersebut disebut “Rokat” oleh penduduk
setempat.
Tradisi tesebut biasanya dilakukan oleh masyarakat yang
berada di daerah pesisir Madura, baik itu pria, wanita, kecil, maupun dewasa
semua ikut dalam acara tersebut. Tradisi “rokat”, jika dipandang memang lebih
condong pada kebudayaan dan kebiasaan yang berbau Islami. Meskipun adapula yang
berpandangan bahwa tradisi tersebut dapat menjerumuskan masyarkat dalam jurang
kemusyrikan. Selain itu, tradisi “rokat” dilakukan untuk mensyukuri karunia
serta nikmat yang diberikan oleh sang maha pencipta yaitu Allah SWT. Dan juga
agar diberikan keselamatan dan kelancaran rezeki dalam bekerja.
Kebudayaan “rokat” dilakukan ketika para nelayan dalam
masyarkat tersebut mendapatkan sebuah keuntungan atau kenikmatan yang sangat
besar, misalnya mendapatkan hasil ikan yang banyak atau besar. Sehingga untuk
mensyukuri karunia tersebut, dilaksanakanlah ritual “rokat”. Tapi ada juga yang
mengatakan bahwa acara “rokat” dilaksanakan tiap satu tahun sekali atau lebih,
tergantung situasi dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat tersebut (tidak
tentu), sehingga untuk meaksanakan “rokat” tidak perlu menunggu hasil tangkapan
yang diperoleh oleh para nelayan.
Sejarah yang Melatar Belakangi
Tradisi “rokat” sebenarnya tidak hanya terjadi di daerah
pesisir Madura saja, namun juga seringkali terjadi di daerah pesisir jawa dan
bali. Tapi tradisi tersebut muncul dengan model-model dan modifikasi yang
berbeda. Meski demikian, tidak diketahui secara jelas kapan tradisi “rokat”
tersebut muncul. Sepanjang yang diketahui dan diyakini oleh masyarakat di
daerah tersebut, menganggap kebudayaan/tradisi tersebut sudah lama berlangsung
dan harus di lestarikan.
Tradisi “rokat” dianggap sebagai bentuk rasa syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa, bagi masyarakat setempat. Selain itu “rokat” juga dianggap
sebagai salah satu cara untuk tola’ bala’ (mencegah bencana) serta sebagai
ritual untuk meningkatkan rezeki yang didapat oleh masyarakat tersebut. Bahkan
“rokat” juga dianggap sebagai ritiual yang harus dan wajib dilakukan oleh
masyarakat yang ada di daerah tersebut.
Dalam melaksanakan “rokat”, masyarakat di daerah tersebut
harus mempersiapkan beberapa sesaji untuk dilepaskan di laut sebagai salah satu
cara atau syarat ritual tersebut. Selain itu, sebelum acara pelepasan sesaji
masyarakat harus melakukan do’a bersama (istigotsah atau tahlil) sebagai bentuk
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian perlu diingat, biasanya isi
dari sesaji-sesaji tersebut adalah makanan-makanan (tumpeng, ketan
warna-warni), ikan-ikan dan sebagainya.
Nilai Dari Kebudayaan “Rokat”.
Bagi
mereka yang tinggal di daerah pesisir Madura
Bagi penduduk yang menetap di daerah pesisir Madura, mereka
menilai bahwa kebudayaan “rokat” merupakan budaya warisan nenek moyang mereka
secara turun temurun, sehingga mereka secara wajib dan mempunyai keharusan
untuk mempertahankan dan melestarikan budaya tersebut.
Selain itu, penduduk yang menetap di daerah tersebut juga
menganggap bahwa tradisi “rokat” merupakan suatu bentuk ketaatan masyarakat
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mereka menganggap bahwa orang yang mengikuti
tradisi tersebut, merupakan orang-orang yang mempunyai tingkat ketaqwaan yang
tinggi. Dari sinilah kemudian masyarakat di daerah tersebut merasa terpanggil
untuk ikut serta dalam ritual tersebut.
Kemudian, ada juga yang menganggap jika dalam masyarakat
tersebut tidak melakukan ritual “rokat”, maka masyarakat tersebut akan
mendapatkan bencana dan rezeki yang didapat tidak sesuai dengan yang
diinginkan.
Bagi
penduduk yang tinggal di luar daerah tapi asli penduduk pesisir Madura.
Bagi penduduk yang menetap di luar daerah, mereka menganggap
bahwa tradisi “rokat” harus tetap dilaksanakan di manapun mereka berada. Karena
tradisi tersebut merupakan tradisi dari nenek moyang mereka yang harus dipertahankan
dan dilestarikan. Tapi yang menjadi kendala untuk melakukan “rokat” di
lingkungan yang baru mereka tempati adalah tidak adanya fasilitas serta
masyarakat yang kurang mendukung ritual “rokat” tersebut. Sehingga ritual
tersebut tidak perlu dilaksanakan di daerah mereka yang baru. Namun, menurut
mereka nilai dari ritual “rokat” itu akan selalu sama meskipun dilakukan di
lain tempat.
Membangun
Rasa Sosial
Sebelum dilepas (dilarung), tempat sesaji, kemudian disebut bitek
sejenis perahu kecil ,dibuat sedemian rupa agar dapat diisi aneka benda
yang dianggap “mewakili” barang-barang kepemilikan para nelayan, berupa apa
saja, bisa kain, makanan, hasil pertanian dan lainnya, kemudian diinapkan
dan diletakkan dermaga tempat nelayan akan berlabuh (jaghangan)
selama dua malam.
Awalnya rokat tase’ ini dinamai rokat jaghangan,
karena rokatnya berlangsung di tepi pantai dimana para nelayan menyandarkan
perahunya, sebelum berlayar menuju laut. “Disetiap desa dimana disitu ada
jaghangan, biasanya mereka para nelayanan juga melakukan rokat tase’”,
tambahnya.
Maksud penginapan wadah sesaji tersebut, untuk memberi kesempatan
pada masyarakat yang lain, barangkali mau “menitipkan” sesajinya melalui
wadah tersebut, “hal ini dilakukan dengan suka rela, dalam bentuk apa saja”.
Tapi umumnya dalam bentuk uang. Namun yang pokok dalam sesaji, tambah Muhammad,
yaitu kepala kambing.
Dari hidangan nasi dan lauk-pauknya disiapkan untuk para
warga, kerabat dan tamu-tamu yang menghadiri dan menyaksikan rokat
tase’. “Dalam hal silaturrahmi memang berusaha kami bertahankan, yang juga
merupakan bentuk rasa syukur kami atas limpahan rahmat Allah melalui jala ikan
kami di tengah laut.
DAFTAR
PUSTAKA
Halim, A. 2008. “Budaya Rokat Madura”
Muhammad.
2012. “Upacara Rokat Tase’, Tanjung Saronggi”.
bagus bagus materi nya
BalasHapushttp://www.marketingkita.com/2017/08/distributor-mencari-produsen-menurut-ilmu-marketing.html