I.
PENDAHULUAN
Salah satu bagian terpenting dari
kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan
pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir
memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface)
antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan
mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan
sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai
pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya
karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi
misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan
lain-lain.
Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang
dipengaruhi daratan dan lautan, yang
mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan
mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting
di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery
ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan
dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, hutan mangrove
juga mempunyai fungsi ekonomis yang
tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan
ikan.
Hutan mangrove sebagai salah
satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan yang sangat potensial bagi
kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup,
namun sudah semakin kritis ketersediaannya. Di beberapa daerah wilayah pesisir
di Indonesia
sudah terlihat adanya degradasi dari hutan mangrove akibat penebangan hutan
mangrove yang melampaui batas kelestariannya. Hutan mangrove telah dirubah
menjadi berbagai kegiatan pembangunan seperti perluasan areal pertanian,
pengembangan budidaya pertambakan, pembangunan dermaga dan lain sebagainya. Hal
seperti ini terutama terdapat di Aceh, Sumatera, Riau, pantai utara Jawa,
Sulawesi Selatan, Bali, dan Kalimantan Timur.
Kegiatan pembangunan tidak perlu merusak ekosistem pantai dan hutan mangrovenya, asalkan mengikuti penataan yang
rasional, yaitu dengan memperhatikan segi-segi fungsi ekosistem pesisir dan
lautan dengan menata sempadan pantai dan jalur hijau dan mengkonservasi jalur
hijau hutan mangrove untuk perlindungan pantai, pelestarian siklus hidup biota
perairan pantai (ikan dan udang, kerang, penyu), terumbu karang, rumput laut,
serta mencegah intrusi air laut. Salah satunya model pendekatan pengelolaan
sumberdaya alam termasuk didalamnya adalah sumberdaya hutan mangrove adalah
pendekatan pengelolaan yang berbasis masyarakat. Selama ini, kebijakan pengelolaan sumberdaya
alam dikontrol kuat oleh negara yang pengelolaannya selalu didelegasikan kepada
pengusaha besar, jarang kepada rakyat kecil. Pemerintah sepertinya
kurangpercaya bahwa rakyat mampu mengelola sumberdaya alam yang ada di
lingkungannya (Sallatang dalam Golar, 2002). Berdasarkan hal di atas, maka makalah ini
mencoba menguraikan bagaimana pemulihan mangrove berdasarkan pendekatan kepada
masyarakat yang berada di kawasan ekosistem mengrove.
II. TINJAUAN MENGENAI EKOSISTEM MANGROVE
1.
Definisi Mangrove
Mangrove berasal dari kata
mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan (Odum. 1983). Di Suriname,
kata mangro pada mulanya merupakan kata yang umum dipakai untuk jenis Rhizophora
mangle (Karsten 1890 dalam Chapman 1976). Di Portugal, kata mangue
digunakan untuk menunjukkan suatu individu pohon dan kata mangal untuk
komunitas pohon tersebut. Di Perancis, padanan yang digunakan untuk mangrove
adalah kata menglier. MacNae (1968) menggunakan kata mangrove untuk individu
tumbuhan dan mangal untuk komunitasnya. Di lain pihak, Tomlinson (1986) dalam
Wightman (1989) menggunakan kata mangrove baik untuk tumbuhan maupun komunitasnya,
dan Davis (1940) dalam Walsh (1974)
menyebutkan bahwa kata mangrove merupakan istilah umum untuk pohon yang hidup
di daerah yang berlumpur, basah dan
terletak di perairan pasang surut daerah tropis. Meskipun terdapat
perbedaan dalam penggunaan kata, Mepham dan Mepham (1985)dalam Wightman
(1989) menyatakan bahwa pada umumnya tidak perlu dikacaukan dalam penggunaan
kontekstual dari kata-kata tersebut.
Beberapa ahli mengemukakan
definisi hutan mangrove, seperti Soerianegara dan Indrawan (1982) menyatakan
bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya
terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak
terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut;
(4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6)
jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicenia Sp),
pedada (Sonneratia), bakau (Rhizophora Sp), lacang (Bruguiera
Sp), nyirih (Xylocarpus Sp), nipah (Nypa Sp) dan lain-lain.
Kusmana (2002), mengemukakan
bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis
tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang
secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang
naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah
suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling
berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.Menurut Steenis (1978), yang
dimaksud dengan “mangrove” adalah
vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut.
Nybakken (1988), menyatakan
hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu
komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas
atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan
asin. Hutan mangrove disebut juga “Coastal
Woodland” (hutan pantai) atau “Tidal Forest” (hutan surut)/hutan
bakau, yang merupakan formasi tumbuhan litoral yang karakteristiknya terdapat
di daerah tropika (Saenger,1983)
2. Fungsi dan Manfaat Hutan
mangrove
Saenger (1983); Salim
(1986); dan Naamin (1990) menyatakan bahwa fungsi ekosistem mangrove mencakup: fungsi
fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi
laut (abrasi) dan intrusi air laut; dan
mengolah bahan limbah. Fungsi
biologis ; tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota
air; tempat bersarangnya burung; habitat alami
bagi berbagai jenis biota. Fungsi ekonomi sebagai sumber bahan
bakar (arang kayu bakar), pertambakan,
tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan.
Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan
ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi
suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis, disamping
itu, ekosistem mangrove merupakan sumber
plasma nutfah yang cukup tinggi (misal,
mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan
rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai
jenis fauna darat (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove juga merupakan
perlindungan pantai secara alami untuk
mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur,
menunjukkan bahwa dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi
gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26
joule (Pratikto dkk., 2002). Karena karakter
pohon mangrove yang khas, ekosistem mangrove berfungsi sebagai peredam
gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Disamping itu, ekosistem mangrove juga
merupakan penghasil detritus dan
merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding
ground), serta daerah pemijahan (spawning ground) bagi berbagai
jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya.
Juga sebagai pemasok larva ikan, udang, dan sebagai tempat pariwisata. Menurut
Hardjosento (1981) dalam Saenger (1983),
hasil dari hutan mangrove dapat berupa kayu, bahan bangunan, chip, kayu bakar,
arang kulit kayu yang menghasilkan tanin (zat penyamak) dan lain-lain. Selanjutnya Saenger, (1983) juga merinci
hasil-hasil produk dari ekosistem hutan mangrove berupa :
a. Bahan bakar;
kayu bakar, arang dan alkohol.
b. Bahan bangunan; balok perancah, bangunan,
jembatan, balok rel kereta api, pembuatan kapal, tonggak dan atap rumah. Tikar
bahkan pagar pun menggunakan jenis yang berasal dari hutan mangrove.
c. Makanan; obat-obatan dan minuman, gula
alkohol, asam cuka, obat- obatan.
d. Perikanan; tiang-tiang untuk perangkap ikan,
pelampung jaring, pengeringan ikan, bahan penyamak jaring dan lantai.
e. Pertanian, makanan ternak, pupuk dsb.
f. Produksi kertas; berbagai macam kertas
Hutan mangrove merupakan
sumber daya alam daerah tropis yang mempunyai
manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya
peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya
jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk- tajuk
pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut
(Naamin, 1991). Manfaat ekonomis
diantaranya terdiri atas hasil berupa
kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil
hutan ikutan dan pariwisata). Manfaat
ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan
ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya :
·
Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang
·
Pengendali intrusi air
laut
·
Habitat berbagai jenis fauna
·
Sebagai tempat mencari
makan, memijah dan berkembang biak berbagai
jenis ikan dan udang.
· Pembangun lahan melalui
proses sedimentasi
· Pengontrol penyakit
malaria
· Memelihara kualitas air
(meredukasi polutan, pencemar air)
· Penyerap CO2 dan
penghasil O2 yang relatif tinggi disbanding tipe hutan lain.
Lebih lanjut Dinas Perikanan
Provinsi Jawa Timur (1994), menyatakan
bahwa ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang
dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung, adalah
sebagai berikut
1. Fungsi ekologis ekosistem hutan mangrove menjamin terpeliharanya:
a. Lingkungan fisik, yaitu perlindungan pantai terhadap
pengikisan oleh ombak dan angin, pengendapan sedimen, pencegahan dan
pengendalian intrusi air laut ke wilayah
daratan serta pengendalian dampak pencemaran air laut.
b. Lingkungan biota, yaitu sebagai tempat berkembang biak dan
berlindung biota perairan seperti ikan,
udang, moluska dan berbagai jenis reptil serta jenis-jenis burung serta
mamalia.
c. Lingkungan hidup daerah di sekitar lokasi (khususnya iklim makro).
2. Fungsi Sosial dan ekonomis, yaitu sebagai:
a. Sumber mata pencaharian
dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan
hasil hutan ikutannya.
b. Tempat rekreasi atau
wisata alam.
c. Obyek pendidikan, latihan
dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Secara garis besar ekosistem
hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan
fungsi sosial ekonomi Dahuri
(2004).
Fungsi
ekologis ekosistem hutan adalah sebagai berikut :
a. Dalam ekosistem hutan mangrove
terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis
ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang.
b. Dengan sistem perakaran yang kokoh
ekosistem hutan mangrove mempunyai
kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari
abrasi, gelombang pasang dan taufan.
c.
Sebagai pengendalian banjir, hutan
mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi
untuk mengurangi bencana banjir.
d. Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (environmental
service), khususnya bahan-bahan organic.
e. Sebagai penghasil bahan
organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di
ekosistem pesisir, serasah mangrove yang gugur dan jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang
baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses pembentukan daun-daun
tersebut menjadi detritus. Selanjutnya
detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan seperti : cacing, udang-udang kecil dan akhirnya
hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan
lainnya.
f. Merupakan daerah asuhan (nursery
ground) hewan-hewan muda (juvenile stage) yang akan bertumbuh
kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning
ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan.
3. Kondisi Mangrove di Indonesia
Luas
ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia
Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem
mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia.
Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran
mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982
menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta
hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa
terjadi degradasi hutan mangrove yang
cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak,
penebangan liar dan sebagainya (Dahuri,
2002). Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis yang tinggi.
Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis
pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Terdapat sekitar 47 jenis vegetasi yang
spesifik hutan mangrove. Dalam hutan
mangrove, paling tidak terdapat salah
satu jenis tumbuhan mangrove sejati, yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizophora,
Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus). Pohon mangrove sanggup beradaptasi terhadap
kadar oksigen yang rendah, terhadap salinitas yang tinggi, serta terhadap tanah
yang kurang stabil dan pasang surut (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove terdiri
dari hutan atau vegetasi mangrove
yang merupakan komunitas pantai
tropis. Secara umum, karakteristik
habitat hutan mangrove tumbuh pada
daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung, dan/atau berpasir. Daerah habitat mangrove tergenang air laut
secara berkala, setiap hari, atau pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi
vegetasi hutan mangrove. Hutan mangrove
menerima pasokan air tawar yang cukup
dari darat serta terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Habitat hutan mangrove memiliki air
bersalinitas payau (2-22 bagian per mil)
hingga asin (mencapai 38 bagian permil). Hutan mangrove banyak ditemukan
di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, dan daerah pantai yang terlindung.
III. PENYEBAB RUSAKNYA
EKOSISTEM MANGROVE
Seperti kita ketahui, hutan
mangrove merupakan tipe ekosistem peralihan
darat dan laut yang mempunyai multi fungsi, yaitu selain sebagai
sumberdaya potensial bagi kesejahteraan
masyarakat dari segi ekonomi, sosial juga
merupakan pelindung pantai dari hempasan ombak. Oleh karena itu dalam
usaha pengembangan ekonomi kawasan
mangrove seperti pembangkit tenaga listrik, lokasi rekreasi, pemukiman dan sarana perhubungan serta pengembangan
pertanian pangan, perkebunan, perikanan
dan kehutanan harus mempertimbangkan
daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya wilayah pesisir. Pertumbuhan penduduk yang
pesat menyebabkan tuntutan untuk mendayagunakan sumberdaya mangrove terus
meningkat. Secara garis besar ada dua faktor penyebab kerusakan hutan
mangrove, yaitu :
1.
Faktor manusia
yang merupakan faktor
dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang
berlebihan.
2.
Faktor alam, seperti :
banjir, kekeringan dan hama
penyakit, yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil (Tirtakusumah,
1994).
Faktor-faktor yang mendorong
aktivitas manusia untuk memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya
sehingga berakibat rusaknya hutan (Perum Perhutani 1994), antara lain : a.
Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan harapan ekonomis dan menguntungkan, karena
mudah dan murah. b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah
tangga, karena tidak ada pohon lain di
sekitarnya yang bisa ditebang. c.
Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove. d. Adanya
kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan pengusaha tambak
modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional.
Tekanan pada ekosistem mangrove yang berasal dari dalam, disebabkan karena pertumbuhan penduduk dan yang dari
luar sistem karena reklamasi lahan dan eksploitasi mangrove yang makin meningkat
telah menyebabkan perusakan menyeluruh atau sampai tingkat-tingkat kerusakan
yang berbeda-beda. Dibeberapa tempat
ekosistem mangrove telah diubah sama sekali menjadi ekosistem lain. Terdapat
ancaman yang semakin besar terhadap daerah mangrove yang belum diganggu dan
terjadi degradasi lebih lanjut dari daerah
yang mengalami tekanan baik oleh sebab alami maupun oleh perbuatan
manusia (UNDP/UNESCO 1984).
Menurut Soesanto dan Sudomo
(1994) Kerusakan ekosistem mangrove
dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain :
1.
Kurang dipahaminya kegunaan
ekosistem mangrove.
2.
Tekanan ekonomi masyarakat
miskin yang bertempat tinggal dekat atau
sebagai bagian dari ekosistem mangrove.
3. Karena pertimbangan ekonomi
lebih dominan daripada pertimbangan lingkungan hidup.
Menurut Sugandhy (1994)
beberapa permasalahan yang terdapat di kawasan hutan mangrove yang berkaitan
dengan upaya kelestarian fungsinya adalah :
1.
Pemanfaatan Ganda Yang Tidak
Terkendali
Pemanfaatan ganda antar
berbagai sektor dan Penggunaan sumberdaya yang berlebihan telah menyebabkan
terjadi pengikisan pantai oleh air laut. Sesuai dengan fungsi hutan mangrove
sebagai penahan ombak. Di beberapa daerah kawasan pantai hutan mangrove sudah
banyak yang hilang sehingga lahan pantai terkikis oleh ombak. Di wilayah Teluk
Jakarta pemanfaatan yang ada sekarang saling berkompetisi, seperti perluasan
areal pelabuhan, industri, transportasi laut, permukiman dan kehutanan. Demikian juga di Bali, khususnya di kawasan
hutan mangrove Suwung, pembangunan
landasan udara Ngurah Rai Bali menyebabkan pantai Kuta terabrasi. Pemanfaatan demikian yang kurang
menguntungkan ditinjau dari aspek
keseimbangan lingkungan, karena dapat menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan wilayah
pesisir. Disamping itu, pengelolaan
hutan mangrove belum berkembang, baik dalam hal silvikultur, sumberdaya
manusia, kelembagaan, perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasannya. Akibatnya
banyak terjadi perusakan hutan mangrove
seperti penebangan yang tidak terkendali, sehingga pemanfaatannya melampaui kemampuan sumberdaya alam untuk
meregenerasi.
2.
Permasalahan Tanah Timbul
Akibat Sedimentasi Yang Berkelanjutan
Di daerah muara sungai
banyak dijumpai tanah timbul karena endapan lumpur yang terus-menerus terbawa
dari daerah hulu sungai. Permasalahan
utama yang muncul adalah tentang status tanah timbul tersebut. Karena lokasinya
umumnya berdekatan dengan lahan
kehutanan, maka sering terjadi status penguasaannya langsung menjadi
kawasan hutan, walaupun oleh masyarakat setempat dimanfaatkan untuk kepentingan mereka, tanpa mengindahkan status
tanahnya. Hal ini sering menimbulkan konflik penguasaan. Contoh : kasus kawasan
di Segara Anakan, dan kawasan Pantura Jawa,
kawasan Sulawesi Selatan dan lain-lain.
3.
Konversi Hutan Mangrove,
Hampir semua bentuk pemanfaatan
lahan di wilayah pesisir berasal dari konversi hutan mangrove. Hutan mangrove
sepanjang pantai utara Jawa, Bali Selatan dan Sulawesi Selatan bagian barat
telah dikonversi menjadi kawasan permukiman, tambak, kawasan industri,
pelabuhan, lading garam dan lain-lain. Kebanyakan konversi hutan mangrove
menjadi bentuk pemanfaatan lain belum banyak ditata berdasarkan kemampuan dan peruntukan pembangunan,
sehingga menimbulkan kondisi yang kurang
menguntungkan dilihat dari manfaat regional dan nasional. Oleh karena itu
pemanfaatan hutan mangrove yang tersisa atau upaya rehabilitasinya harus sesuai dengan potensi dan rencana
pemanfaatan yang lainnya dengan
mempertimbangkan kelestarian ekosistem, manfaat ekonomi dan penguasaan
teknologi.
4.
Permasalahan Sosial Ekonomi
Meningkatkannya pertumbuhan
penduduk dan laju pembangunan diwilayah pesisir, khususnya Jawa, Bali, Sulawesi
dan Lampung akan menyebabkan timbulnya ketidak
seimbangan antara permintaan kebutuhan hidup, kesempatan dengan persediaan
sumber daya alam pesisir yang ada .
Upaya pengembangan pertanian intensif (coastal
agriculture), dan kegiatan serta kesempatan yang berorientasi
kelautan masih terbatas dikembangkan. Di
pantai utara Jawa, hampir semua hutan mangrove telah habis dirombak menjadi
kawasan pemukiman, perhotelan, tambak dan sawah yang berorientasi kepada
ekosistem daratan. Pemanfaatan sumber daya alam wilayah pesisir mestinya tidak
hanya terbatas pada hutan mangrove atau
tambak saja tapi juga eksploitasi terumbu karang yang telah melampaui
batas, sehingga sulit dapat pulih kembali. Hal ini terjadi di Bali Selatan, pantai utara
Jawa Tengah.
5.
Permasalahan Kelembagaan dan
Pengaturan Hukum Kawasan Pesisir dan Lautan
Sering terjadi tumpang
tindih, konflik dan ketidakjelasan kewenangan antara instansi sektoral pusat
dan daerah. Hal tersebut menyebabkan simpang siur tanggung jawab dan prosedur
perizinan untuk kegiatan pembangunan
pesisir dan lautan. Contahnya seperti pembukaan lahan di kawasan pesisir, usaha
penggalian pasir laut, reklamasi, penangkapan
ikan dan pengambilan terumbu karang dan lain-lain. Akibat tersebut
menyebabkan terus meningkatnya perusakan ekosistem kawasan pesisir dan lautan khususnya kawasan hutan mangrove.
6. Permasalahan Informasi
Kawasan Pesisir Keberadaan data dan informasi serta ilmu pengetahuan teknologi
yang berkaitan dengan tipologi
ekosisitem pesisir Keanekaragaman hayati,
lingkungan sosial budaya, peluang ekonomi dan peran serta keluarga,
sumber daya hutan mangrove masih terbatas sehingga belum dapat mendukung penataan ruang kawasan pesisir,
pembinaan dalam pemanfaatan secara lestari, perlindungan kawasan serta
rehabilitasinya.
IV. UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE
Ekosistem mangrove yang
rusak dapat dipulihkan dengan cara
restorasi/rehabilitasi. Restorasi
dipahami sebagai usaha mengembalikan kondisi
lingkungan kepada kondisi semula secara alami. Campur tangan manusia
diusahakan sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk
menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang dipahami/diingini manusia.
Dengan demikian, usaha restorasi semestinya mengandung makna memberi jalan/peluang kepada alam untuk
mengatur/memulihkan dirinya sendiri. Kita manusia pelaku mencoba membuka jalan
dan peluang serta mempercepat proses pemulihan terutama karena dalam beberapa
kondisi, kegiatan restorasi secara fisik akan lebih murah dibanding kita
memaksakan usaha penanaman mangrove
secara langsung. Restorasi perlu dipertimbangkan ketika suatu sistem
telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau
memperbaharui diri secara alami. Dalam
kondisi seperti ini, ekositem homeastatis telah berhenti secara permanen dan
proses normal untuk suksesi tahap kedua atau perbaikan secara alami setelah
kerusakan terhambat oleh berbagai sebab. Secara umum, semua habitat bakau dapat
memperbaiki kondisinya secara alami
dalam waktu 15 - 20 tahun jika: (1) kondisi normal hidrologi tidak terganggu,
dan (2) ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi adalah normal atau
mendekati normal tetapi biji bakau tidak dapat mendekati daerah restorasi, maka
dapat direstorasi dengan cara penanaman.
Oleh karena itu habitat bakau dapat diperbaiki tanpa penanaman, maka rencana restorasi harus terlebih dahulu
melihat potensi aliran air laut yang
terhalangi atau tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat
perkembangan bakau (Kusmana, 2005).
Dahuri dkk (1996) menyatakan, terdapat tiga parameter lingkungan yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan
mangrove, yaitu: (1) suplai air tawar dan salinitas, dimana ketersediaan air
tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) mengendalikan efisiensi metabolik dari ekosistem hutan mangrove. Ketersediaan air tawar tergantung pada (a)
frekuensi dan volume air dari system sungai dan irigasi dari darat, (b)
frekuensi dan volume air pertukaran pasang
surut, dan (c) tingkat evaporasi ke atmosfer. (2) Pasokan nutrien:
pasokan nutrient bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang
saling terkait, meliputi input dari
ion-ion mineral an-organik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien. Secara internal melalui jaringan-jaringan
makanan berbasis detritus (detrital food web).
V. SILVOFISHERY SEBAGAI
SALAH SATU BENTUK PELESTARIAN MANGROVE BERBASIS
MASYARAKAT
Pendekatan teknis yang
dilakukan dalam kegiatan Perhutanan Sosial adalah dengan sistem silvofishery
(Perum Perhutani,1993). Sistem ini merupakan
salah satu alternatif pemecahan masalah yang cukup efektif dan
ekonomis. Aspek keuntungan yang
diperoleh dengan model silvofishery
ini antara lain dapat meningkatkan lapangan kerja (aspek sosial), dapat
mengatasi masalah pangan dan energi
(aspek ekonomi) serta kestabilan iklim mikro dan konservasi tanah (aspek
ekologi).Pola ini dipandang sebagai pola pendekatan teknis yang dianggap cukup
baik, karena selain petani dapat memanfaatkan lahan untuk kegiatan pemeliharaan
ikan, pihak Perum Perhutani secara tidak langsung menjalin hubungan kerja sama yang saling
menguntungkan. Pola silvofishery yang digunakan adalah pola komplangan
dan empang parit (Perum Perhutani, 1994; Sumarhani, 1994; Amir, dkk,
1994). Perhutanan Sosial yang dilakukan
oleh Perum Perhutani merupakan program pembangunan, pemeliharaan dan pengamanan
hutan dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Program
ini dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi- fungsi hutan secara optimal,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
sekaligus perbaikan lingkungan dan kelestariannya yang pelaksanaannya
terbatas dikawasan hutan. Berdasarkan pengertian tersebut diharapkan Perhutanan
Sosial dapat memecahkan permasalahan
yang berkaitan dengan tekanan sosial budaya penduduk di sekitar hutan yang
berakibat turunnya produktivitas lahan dan fungsihutan maupun kualitas
lingkungan biofisik di sekitarnya.
Surat
Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 60.2/Kpts/DIR/1988 merupakan Pedoman
Pelaksanaan Perhutanan Sosial. Penggarap
empang dianggap sebagai mitra sejajar dalam pembangunan hutan atas dasar saling
menguntungkan. Perhutanan Sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
pola agroforestry. Agroforestry merupakan
suatu alternatif yang cukup efektif dalam
upaya untuk menyatukan kepentingan antara kehutanan dengan
masyarakat sekitar hutan, khususnya
Kelompok Tani Hutan sehingga terjalin hubungan mitra pembangunan yang harmonis yang saling
menguntungkan. Dalam system agroforestry, penggunaan lahan pada dasarnya
dititikberatkan pada salah satu usaha
tanaman pangan, peternakan atau kehutanan (Setiawan 1991). Jika tanaman kehutanan dikombinasikan dengan
pertambakan ikan atau udang disebut silvofishery. Tujuan kegiatan
Perhutanan Sosial di hutan mangrove ini sama halnya dengan di kawasan hutan produksi, yaitu :
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memelihara
ekosistem hutan mangrove. Hal ini dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu
pendekatan teknis dan non teknis.
2. Pendekatan Non Teknis
Dalam melaksanakan
pendekatan non teknis ini perlu dibentuk suatu organisasi penggarap kawasan
hutan ialah “Kelompok Tani Hutan” (KTH), dimana
para petani penggarap membangun hutan mangrove bersama-sama dengan
kelompoknya dan membentuk program kerja yang akan di laksanakannya. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, perlu adanya
pembentukan organisasi dan tanggung
jawab masing-masing seksi dari kelompok tani hutan. KTH ini perlu pula
dilengkapi dengan koperasi sebagai wadah penyediaan sarana produksi pertanian
atau sarana pengolahan hasil. Untuk mempermudah pembinaan petani empang parit,
para petani dikelompokkan dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) dan
diberikan penyuluhan secara intensif.
Tugas dari Kelompok Tani Hutan (KTH) antara lain :
1. Melaksanakan tanaman hutan disetiap lokasi garapan masing-masing.
2. Ikut menerbitkan
pemukiman/perambah dalam kawasan hutan mangrove
3. Gotong royong memperbaiki
saluran air yang dangkal untuk memperlancar pasang surut air laut dan aliran
sungai
4. Secara rutin mengadakan
pertemuan untuk membahas permasalahan yang dihadapi, diantaranya cara budidaya
ikan, udang, kepiting dikawasan hutan mangrove.
5. Disamping itu melakukan usaha koperasi simpan pinjam, pelayanan
saprodi, pemasaran hasil ikan dan
pengembangan pengolahan ikan.
Produksi ikan dari silvofishery seluruhnya
menjadi hak penggarap
anggota KTH.
VI. PENDEKATAN BUTTOM UP DALAM RANGKA PELESTARIAN HUTAN
MANGROVE
Usaha pemulihan ekosistem
mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi,
maupun Irian Jaya telah sering kita lihat. Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari
Departemen Kehutanan ataupun dari
Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak
sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam
pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli,
tersedia bibit yang cukup, pengawasan
cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa hasilnya
kurang memuaskan? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya
pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove; dan masyarakat
masih cenderung dijadikan obyek, bukan subyek dalam upaya pembangunan (Subing,
1995).
Dalam pelaksanaan pemulihan
ekosistem mangrove yang telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini
dilakukan atas perintah dari atas. Seperti suatu kebiasaan dalam suatu proyek
apapun yang namanya rencana itu senantiasa datangnya dari atas; sedangkan
bawahan (masyarakat) sebagai ujung
tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau
dengan istilah populer dengan pendekatan
top-down (Gambar 3). Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang
memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang
harus berperan aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut,
sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol, dan fasilitator
berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek tersebut,
yaitu saat dana telah habis tentu saja
pelaksana proyek tersebut juga merasa sudah habis pula tanggung
jawabnya.
Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut
memiliki (sense of belonging tidak tumbuh) hutan mangrove tersebut.
Begitu pula, seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka
masyarakat merasa sudah tidak ada lagi yang
mengawasinya, sehingga mereka dapat mengambil atau memotong hutan mangrove tersebut secara bebas. Masyarakat
beranggapan bahwa hutan mangrove
tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga jika masyarakat membutuhkan mereka tinggal
mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek. Begitulah
pengertian yang ada pada benak masyarakat pesisir yang dekat dengan hutan
mangrove yang telah mereka rehabilitasi
(Savitri dan Khazali, 1999). Seyogyanya upaya pemulihan ekosistem mangrove
adalah atas biaya pemerintah, sedangkan
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara
berkelanjutan semuanya dipercayakan
kepada masyarakat.
Dalam pelaksanaannya
kegiatan tersebut dapat juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
bersama perangkat desa, pemimpin umat, dan lain-lain. Masyarakat pesisir secara
keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka
rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang
berada di daerah pesisir. Dengan
demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan,
penyulaman tersebut dilakukan oleh
masyarakat. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap
sebagai “kuli”, melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka
merasa ikut merencanakan penanaman dan
lain-lain. Masyarakat merasa
mempunyai andil dalam upaya rehabilitasi
hutan mangrove tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan
sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya. Dari sini akan tergambar
andaikata ada sekelompok orang yang bukan
anggota masyarakat yang ikut menaman hutan mangrove tersebut ingin memotong sebatang tumbuhan mangrove saja,
maka mereka tentu akan ramai- ramai mencegah atau mengingatkan bahwa mereka
menebang pohon tanpa ijin. Ini merupakan salah satu contoh kasus kecil dalam
perusakan hutan mangrove yang telah dihijaukan, kemudian dirusak oleh anggota
masyarakat lainnya yang bukan anggota
kelompoknya. Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan pada
pemberdayaan masyarakat setempat ini biasa dikenal dengan istilah pendekatan bottom- up
Menurut Sudarmadji (2001)
Hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat
enggan untuk merusak hutan mangrove yang
telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya; karena
masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka
potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka
bersama. Tugas pemerintah
hanyalah memberikan pengarahan secara umum
dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan, sebab tanpa
arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan
dalam jangka panjang. Dari sini nampak
bahwa pendekatan bottom up relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pendekatan
top down dalam pelaksanan pemulihan ekosistem, selain itu “pemerintah atau pemilik modal” tidak terlalu berat melakukannya,
karena masyarakat dapat berlaku aktif pada proses pelaksanaan pemulihan tersebut, dan pada masyarakat pesisir akan timbul rasa ikut
memiliki terhadap hutan mangrove yang telah berhasil mereka hijaukan. Dengan
demikian pelaksanaan suatu proyek dengan
pendekatan bottom up atau menumbuhkan
adanya partisipasi dari anggota masyarakat ini juga sekaligus merupakan
proses pendidikan pada masyarakat secara
tidak langsung (Savitri dan Khazali, 1999).
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam
Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Bengkulu Utara, Bengkulu. 2004. Jakarta.
Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J.
Sitepu. 1996. Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Dahuri, R.
2002. Integrasi Kebijakan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002
Golar, 2002. Presfektif Pengolahan Hutan Berbasis masyarakat:
Antara Harapan dan Kenyataa.
Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kolaboratif. Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Indonesia. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Kusmana, C. 2005. Rencana Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan
Pantai Pasca Tsunami di NAD dan
Nias. Makalah dalam Lokakarya Hutan
mangrove Pasca sunami, Medan,
April 2005
Barlowe, R. 1978. Land Resource Economics. The Economics of
Real Estate. 3rd ed.
Printice-Hall, Inc. NJ.
Departemen Kehutanan. 2001. Eksekutif. Data Strategis Kehutanan.
Badan Planologi
Kehutanan. Jakarta.
Dixon, J.A., K.W. Easter. 1986. Economic Analysis at the Watershed Level. In. K.W.
Easter, J.A. Dixon, and M.M. Hufschmidt. Watershed Resources Management.
An Integrated Framework with Studies from Asia
and the Pasific. Studies in
Water Policy and Mngt, No. 10. Westview Press and Lond.
Fletcher, J.R., R.G. Gibb. 1992.
Land Resource Survey
Kandbook for Soil Conservation Planning in Indonesia. Alih Bahasa.
Paimin, E. Savitri, S. Hartati. Pedoman
Survai Sumberdaya Lahan Untuk Perencanaan Konservasi Tanah di Indonesia. Cet. Ke-3. Project Report No 2. Sci. Report No.11. MOF-DENGANRLR
and DSIR. Hudson,
N. 1971. Soil Conservation. BT
Basford Ltd.
Shaxson, F. 1999. New Consept and
Approach to Land Management in the Tropics with Emphasis on Steeplands. FAO
Soil Bul. 75. FAOUN. Rome.